Home    Momen Tahun Politik Tidak Mengurangi Kebutuhan Rumah

Momen Tahun Politik Tidak Mengurangi Kebutuhan Rumah

 

 

Pertumbuhan industri properti pada tahun 2018 diprediksi masih akan terus naik dengan kisaran prosentase sebesar 6 persen hingga 10 persen dibandingkan tahun 2017. Praktisi properti menilai, segmen pasar kelas menengah dengan karakteristik pengguna akhir (end user) masih akan mendominasi pasar di tahun 2018.

 

Praktisi properti yang juga Asisstant Vice President Strategic Residential PT Agung Podomoro Land Tbk, Agung Wirajaya kepada Property Inside Senin (11/12) mengaku optimis daya beli masyarakat untuk kebutuhan papan masih akan bertumbuh. Dirinya memprediksi pembelian properti untuk segmen end user adalah marketplace yang paling besar.

 

“Kalau kita bandingkan dengan pertumbuhan tahun 2017, saya optimis tahun 2018 industri properti akan tumbuh sekitar 6 persen, bahkan mungkin bisa mencapai angka maksimal 10 persen. Pertumbuhan ini masih didominasi end user dengan segmen pasar kelas menengah, tahun 2018 supply market akan tetap kesana,” ungkap Agung.

 

Sementara untuk pembeli segmen investor masih melakukan wait and see untuk membeli properti dikarenakan beberapa faktor yang belum stabil. Karena itu Agung menilai bahwa pengembang tidak lagi menyasar target market dari kalangan investor dalam tiga tahun terakhir ini.

 

“Investor melihat beberapa faktor yang dapat berpengaruh pada investasi properti mereka. Yang pertama adalah kebijakan fiskal Kementerian Keuangan yang cukup ketat saat ini, dan yang kedua adalah stabilitas politik dalam dua tahun kedepan dalam masa-masa tahun politik pilkada serentak 2018 dan pilpres 2019. Tapi setelah ini berlalu, kondisi pasar investor akan kembali normal,” jelas Agung.

 

Sementara untuk pasar end user, kebijakan fiskal maupun tahun politik sama sekali tidak berpengaruh. Karena kebutuhan akan hunian setiap tahun bertumbuh, baik untuk segmen kelas atas, menengah maupun untuk MBR (masyarakat berpenghasilan rendah).

 

“Kebutuhan hunian itu tidak memandang strata sosial, semua segmen membutuhkannya, kelas high end pun kebutuhannya tetap ada. Cuma perbandingan jumlah kebutuhannya saja yang berbeda, kelas menengah dan bawah memang masih yang terbesar kebutuhannya,” imbuhnya.

 

Kebutuhan hunian di Indonesia masih sangat besar, meski masih debatable, angka backlog perumahan yang mencapai 12 juta hingga 15 juta unit menjadi permasalahan tersendiri bagi negeri ini. Dari angka tersebut, tidak semua merupakan segmen kelas MBR, karena kelas menengah pun masih sangat banyak yang tidak memiliki rumah.

 

“Bahkan anak-anak orang berada pun saat menikah masih banyak yang belum memiliki rumah. Saat mereka menikah, mereka mulai pisah rumah dengan orang tua. Karena itu saya katakan kebutuhan hunian tidak memandang strata sosial.”

 

Menurut Agung, meski merupakan permasalahan yang mendasar, backlog rumah bisa menjadi opportunity bagi pengembang. Tinggal bagaimana pengembanga membagi porsi untuk masing-masing segmen pasar ini.

 

“Demografi kita 250 juta penduduk, jika pertumbuhan tiap tahun saja 1 persen, ada kebutuhan setidaknya 2,5 juta unit rumah. Angka ini sangat besar, pengembang tidak akan bisa memasok semuanya, ada tugas pemerintah disitu. Tapi dari sisi bisnis, ini adalah peluang, momen politik seperti pilpres atau apapun tidak akan berpengaruh, apalagi mengurangi kebutuhan rumah,” tutup Agung.

1934Like